cerpen:: sulaiman pergi ke
tanjung cina
Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di
sudut kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam
yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan memasuki
rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah
lau, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki
yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti
hidup, karang-karang yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut
Hindia, dari Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk
damar, dan awan awan biru-semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk
kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya,
menciptakan runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas
hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang
mabuk, dan putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan
pujian kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain
pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya
masuk. Menjadi naga yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit,
gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang
perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau
daun, putih awan.
Ada merah api cinta yang semerbak disana, ada kuning sejarah
yang membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu
indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau
Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke
arah laut. Mencari tempat dimana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung
Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu
akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah
Zhu, istrimu. Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari
separuh jiwaku. Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan
aku bicara padamu.”
***
Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelombang laut surut
di pagi hari, maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari
kehangatan perpaduan kepundan dan matahari-yang kehangatan udaranya mungkin
tidak akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang sepenggalah
hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat
memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah surga dari
segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang. Dari
rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang mencipta
gairah untuk syarat berkembang-biak—ratusan, bahkan mungkin ribuan
tahun—tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser, hingga
senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol berlesatan menuju pulau
Tabuan, menunggu gelap sempurna.
Lantas gerombolan hitam itu akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil,
dan bergerak bercericit menuju berbagai arah mata angin: Kota Agung, Kalianda,
dan Bandar Lampung. Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan
sarang. Istana tempat terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab
dan nyaman, berupa gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak
berjendela.
Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu,
adalah jebakan cerdik yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari
kehidupan lepas di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan.
Sesungguhnyalah, wallet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan, dan
jalan pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir
tentang kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan walet
memadati jebakan-jebakan nyaman yang dibuat untuk diburu. Diburu sarangnya,
yang kelak diperjualbelikan sebagai barang ajaib dengan harga teramat tinggi.Migrasi
walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak ternilai, adalah juga
berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang bergelombang datang dari
berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian terbentuk, mejadi
bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong yang akhirnya
menetap—kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu
yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa pesona kecerdasan dan
keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang di usia remaja—seorang anak
saudagar besar dengan bakat cemerlang.
Zhu mengawali sejarah dengan melakukan perjalanan jauh dari
pulaunya, Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota
berteluk hangat di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah
rahasia besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet
memadati puncak gunung tengah laut di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur
pulau Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju deretan Bukit
Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil membuat
jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”
Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak tanah
yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian yang tidak
diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut yang berpadu keindahan
teratai. Dialah perempuan dengan masa depan gemilang, dari kegigihan dan
keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu walet ulung yang
kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau Jung—pemburu walet
paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.
Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah yang
bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di Nusantara Timur
percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang Selat Sunda tiba, ia tertantang
untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan lantaran usiaku telah mulai
tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukan tak pernah mengenal umur.
Tapi kau harus segera menetapkan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu, kau sudah
pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu, dan letakkan
dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar ayahmu, untuk nama
baik leluhurmu!”
Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang
dijumpainya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya panjang
berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung pipitnya yang berkali
membikin lelaki mabuk lantaran rindu. Zhu Ni Xia, menjadi terkenal seantero
mata angin.
Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali
singgah untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari walet
menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat menukar
damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan
gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan
Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu.
“Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”
***
Akulah lelaki yang menentang angin di malam ketika serentetan tembakan
menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung, membakar atap
dan dinding-puluhan rumah. Demi tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah
bergegas,dan teriakan kematian menggema pada lading-ladang kopi. Sayup dibalai
kampong sekumpulan lelaki memainkan gamelan bamboo cetik, dengan nada
putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka
adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi.
Sejak sore hari, menjelang magrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made
sukari berlari menurunin bukit, sambil terus menunjukan ke arah lembah,”celaka.
Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati,seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak,
dan made sukari berlari member tanda menurunin bukit. Wajah-wajah pucat dan
gemetaran menjalar, melewati lading, kebun, dan rumah-rumah yang langsung
siaga.
“siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi tuhan,ini pertanda
celaka!”
Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah di temukan tanpa nyawa
dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di
kepala. Tak ada petani di kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa
bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang
tersesat di lading, hanya dengan teriakan serta sapaan,” pergilah manis,hus,hus,pergilah
dari ladng kami.”antara gajah dan petani telah memiliki tautan hati yang sama.
Tak perlu ada perang menempel, apalagi sampai memebelah leher.
Mereka akan pergi dengan langkah lamban,dan anak-anak seringkali
menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “pergilah wahai barisan gendut,
menuju hutan,bersama angin,menyongsong hujan….”
Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati,dibunuh dengan keji. Dan gajah
yang mati akan menuntut balas dari Negara. Sudah terlalu lama kampong ini
berurusan dengan Negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200
petani kopi yang dianggap membangkang,memberontak,hanya lantaran ia kukuh
berkata:” sudah berpuluh tahun kami berdiam disini, sebelum kawasan hutan
Negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak
punya niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski
leluhur kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku!kami adalah…”
Akulah
lelaki yang menentang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang
malem. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa kematian gajah-gajah
hanyalah alas an agar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa
pergi. “pergilah kalian, bakar kebun kopi dan lading, dan berhak untuk
dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari mulut
ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya
tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi tuhan, ketika
made sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul dibalai kampong
lalu memainkan gamelan bamboo cetikdengan putus asa, aku sudah berkata : “
larilah ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi
mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul, lalu
suara-suara jeritan, teriakan dan entah-barangkali kematian. Gelap aku
menerabas pepohonan,menyeretn tanggan Nyiwar-ibuku.berkelebetan di pekat hutan,
terus berlari, menerabas berhari-hari.entah berapa waktu telah hilang digerus
perih dan lapar,dan kesakitan. Hinggah tiba di kampong yang entah,sebuah jalan
raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.
“
tolong bukakan gerbang.katakan pada Nona Zhu, saya sulaiman. Saya tidak sedang
membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
***
Sulaiman,
dan berpuluhan lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa karung-karung
biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat sesosok
lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggengam bungkusan kain-yang
jelas pastilah bukan biji kopi- dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat.
Zhu melangkah mundur dengan refleks, “ cepat masuk!”
“mohon
maaf,Nona Zhu, ini ibu saya,”sulaiman memperkenalkan Nyiwar. “saya tidak
membawa…”
“sutinaaa,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap sulaiman, “kalian belum makan
berhari-hari? Demi tuhan,aku sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di
kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”
“saya,
Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “ segera siapkan makanan!” Zhu
menghirup nafas dalam-dalam. “ setiap petugas yang dating memeriksa gudangku,
selalu aku kataka, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari perkampungan
yang masuk kawasan hutan Negara. Tapi kau tahu, sulaiman, bertahun-tahun aku
tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang
salah dari negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku mendapat penekanan yang
lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung biji kopi yang dicurigai
berasal dari kawasan hutan Negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku,
sulaiman?sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapakannya.
Setelah itu, pergilah…. Demi tuhan, sulaiman, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak bisa menawarkan kalian untuk
tinggal.”
“saya
memang tidak tahu dimana saya harus tinggal,Nona. Saya dating ke sini lantaran
bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun
kami meskipun teramat besar resiko buat Nons. Tentu say tidak akan lagi
merepotkan….”
Ada
nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
[….]
Selalu
ia berkata:”belum saatnya engkau mengerti,Zhu. Tetap tinggallah di kamar.
Jangan keluar rumah.jagan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang
dirumah ini. Engkau mengerti?”
Dan ia hanya mengangguk.dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.
Lalu
kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua, menjadi
perlarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang
itu dari jauh, dari sebrang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam.
Demi tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan
sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri tegak diantara
para perlarian, meskipun penuh resiko.
“terimakasih,
Nona. Hanya delapan belas kain tipis itulah barang yang bisa kami bawa.
Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke
jawa.delapan belas kain tipis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa
bertahun-tahun,” begitulah sulaiaman berkata.
Lalu
Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati
perih.
***
Siapa
nanya, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat
batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita.
Ia
tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akn menyimpan getaran dahsyat yang
langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang
emas dan benang perak, liuk-liukan garis yang menyerupai api, cinta, dendam,
serta gambar gambar dekoratif dalam olahan lambang daun, tanah, laut, dan
langit,telah menuntutnya untuk berkaca pada dirinya, serta hatinya. Alangkah
dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu
dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah
inday jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia
malu.
Dengan
segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah
mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan pintas
perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka
kesini, bawalah mereka…”
Zhu
memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis. Ia
lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan
wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru
warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hungga Zhu
tertidur memeluk delapan belas kai tapis.
Hingga
harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang
pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Merekaa
suda ada di depan, Nona.”
Alangkah
aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memluk Nyiwar, “Tidak sepatutnya aku
meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah disini.”
“Terimakasih
Nona. Tapi kenapa ?” Sulaiman menyela.
Ia
merasa heran.
“Aku
malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya padaku.
Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku siap dengan
segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang terburu-buru
kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar,melihat
kedalaman matanya, merasakan kerut tanganya, dan melihat ada apakah dibalik
tubuh ringkih yang sesunggunya eramat perkasa ini? Dari mana datangnya kehalusan
jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan,kobaran cinta,
kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian sulaman kain tapis yang
begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin
merengkuhkan seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil “Ibu.”
Maka
setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman,
duduk berdua, meliat laut melewati bulan.
“Bulatan
cahaya bulan,bunga, kopi, dan warna laut diatas kain tapis,seperti hamparan
tanah,Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum sebagai takdir.
Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada
ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona genggam sekepal
tanah,rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna , semua akan berdenyut
jika dirasakan dengan benar….”
Nyiwar
akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.
Kadang
tentang masa kecil Sulaiman,. Tentang penembakkan. Tentang air mata yang
mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa.
Tentang air hujan. Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
“Jadi
Ibu membesarka sulaiman sendiri?”
“Dengan
tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua,semua,semua adalah tinggal
keringat kami. Dan juga doa.”
Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.
“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani.
Menyelundupkan biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar
petani bisa bertahan, ditengah berbagai ancman. Ia seperti ayahnya. Tak bisa
melihat orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri,
saat ayahnya ditembak mati.
Adakah
yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti,maka cahaya hati
juga bisa berganti.Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki
itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang-kunang yang
melesat memnuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaiman angin yang
bertiup dari kamar Sulaiman, adala tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta,
tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada
lelaki itu semakin tumbuh. Wawasanya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan
terutama; tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam
persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data,
mencari bukti-bukti. Berkali sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka
berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.
Zhu
Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada malam ketika
barang singgah dibandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
“Aku
telah menemukan lelaki,Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya. Datanglah segera
untuk menjadi wali putrimu tercinta.”
Ada
purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
“Sampaikan
pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta kepada Nyiwar,
dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan berganti.
Ketika
madu tumpah dilautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar, dan
begitulah Nyiwar –perempuan lembut sekokoh karang-dan ia resmi memanggil Abang
kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada
parasnya yang jelita.
Dari
Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di
Bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita
pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
Segerombolan
lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, membakar gudang
dan memporakporandakan segala.
Teriakkan
kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakkan dipagi buta. Sulaiman
digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penu cinta.
Kegembiraan
separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan runcing jari-jari Zhu
pandai menari. Menari dan bernyanyi diatas hamparan kain sulaman. Menyerut
seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk dan putus asa. Larutan
asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih dan pujian kepada tana tempat lelakinya
terkubur.
Ia
menyeru diatas ssehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit,dan
membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang mengerakkan seluru
gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan
rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna
aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta yang semerbak disana,
ada kuning sejarah yang membentang diatas helai kain pelepai setelah dicipta
berhari hari.
Begitu
indah, dan selalu:delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau
Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke
arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung
Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Diatas batu ia selalu akan
meniru gerak laut, mengubarkan kain tapis dan berteriak gembira, “Sulaiman.
Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang
telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini aku
bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”