Rabu, 18 Mei 2016

KONSEP STRATEGI BELAJAR MENGAJAR

A. Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Secara bahasa (harfiah), strategi dapat diartikan sebagai seni (art) melaksanakan stratagem, yakni siasat atau rencana. Banyak padanan kata strategi dalam bahasa Inggris, dan yang dianggap relevan ialah kata approach (pendekatan) dan kata procedure (tahapan kegiatan). Dalam perspektif psikologi, kata strategi yang berasal dari bahasa Yunani itu, berarti rencana tindakan yang terdiri atas seperangkat langkah untuk mencapai tujuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas RI, 2003: 1092), kata strategi mengandung empat pengertian, yaitu:
1.       Ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai.
2.      Ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan.
3.      Rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.
4.      Tempat yang baik menurut siasat perang.
Berdasarkan makna di atas, maka strategi belajar mengajar dapat diartikan sebagai:
1.       Ilmu dan seni yang mengandung siasat/taktik yang digunakan guru dan siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
2.      Rencana yang cermat mengenai kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
3.      Pola-pola umum kegiatan guru-siswa dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
B. Peran Penting Strategi Belajar Mengajar
Sedikitnya ada tiga peran penting strategi belajar mengajar, antara lain:
1.       Setiap tujuan akan tercapai jika strategi yang diterapkan benar dan sesuai dengan rencana. Jadi strategi merupakan salah satu jembatan mencapai tujuan. Tidak sedikit orang gagal mencapai tujuan karena strategi yang diterapkannya salah.
2.      Setiap proses pembelajaran akan berlangsung secara lancar dikarenakan guru dan siswa menggunakan strategi yang jitu.
3.      Keberhasilan seorang guru dalam mengajar salah satunya ditentukan oleh kepiawaiannya dalam menggunakan strategi pembelajaran.
C. Fungsi Strategi Belajar Mengajar
Berdasarkan pengertian strategi belajar mengajar di atas, maka terdapat tiga fungsi SBM, yaitu:
1.       Sebagai siasat atau taktik bagi guru dalam mencapai tujuan pembelajaran.
2.      Sebagai rencana yang cermat dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
3.      Sebagai pola umum bagi guru dalam mencapai tujuan pembelajaran.
D. Sasaran Strategi Belajar Mengajar
Sasaran pokok strategi belajar mengajar adalah proses/kegiatan belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
E. Penerapan Strategi Belajar Mengajar
Ada empat penerapan strategi belajar mengajar, antara lain;
1.       Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi serta kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan sesuai tuntutan dan perubahan zaman.
2.      Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan belajar mengajar yang tepat untuk mencapai sasaran yang akurat.
3.      Memilih dan menetapkan prosedur dan metode belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan guru dalam menunaikan kegiatan mengajar.
4.      Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik untuk penyempurnaan sistem pembelajaran yang bersangkutan secara keseluruhan.
F. Klasifikasi Strategi Belajar Mengajar
Dalam pandangan Hasibuan dan Moedjiono (1986: 4-6), ada beberapa dasar yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan strategi belajar mengajar. Di bawah ini dikemukakan beberapa di antaranya yang dapat digunakan sebagai kerangka acuan untuk memahami, dan pada gilirannya untuk dapat memilih secara lebih tepat serta menggunakannya secara lebih efektif di dalam penciptaan lingkungan belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan prinsip cara belajar siswa aktif yang mementingkan peranan aktif siswa dalam proses pembelajaran, sehingga mengajar dikonsepsikan sebagai penyediaan kondisi untuk membelajarkan siswa.
Klasifikasi strategi belajar mengajar tersebut antara lain:
1.       Pengaturan guru dan siswa.
2.      Struktur peristiwa belajar mengajar.
3.      Peranan guru-murid di dalam mengolah pesan.
4.      Proses pengolahan pesan.
5.      Tujuan belajar.
1. Pengaturan Guru dan Siswa
Dari segi pengaturan guru dapat dibedakan pengajaran oleh seorang guru atau oleh suatu tim, selanjutnya dapat pula dibedakan apakah hubungan guru murid terjadi secara tatap muka ataukah dengan perantara media, baik media cetak ataupun visual. Sedangkan dari segi siswa dapat dibedakan pengajaran klasikal (kelompok besar), kelompok kecil (5 – 7 orang siswa), atau pengajaran perorangan.
2. Struktur Peristiwa Belajar Mengajar
Struktur peristiwa belajar mengajar dapat bersifat tertutup, dalam arti segala sesuatu telah ditentukan secara relative ketat, dapat juga bersifat terbuka, dalam arti tujuan khusus, materi, serta prosedur yang akan ditempuh untuk mencapainya ditentukan sementara kegiatan belajar mengajar berlangsung.
3. Peranan Guru-Murid di dalam Mengolah Pesan
Pengajaran yang menyampaikan pesan dalam keadaan telah siap (telah diolah secara tuntas oleh guru sebelum disajikan) dinamakan bersifat ekspositorik, sedangkan yang mengharuskan pengolahan oleh siswa dinamakan heuristic. Ada dua sub strategi di dalam strategi heuristik, yaitu inkuiri dan discoveri.
4. Proses Pengolahan Pesan
Peristiwa belajar mengajar yang bertolak dari umum untuk dilihat keberlakuannya atau akibatnya pada yang khusus dinamakan strategi belajar mengajar yang bersifat deduktif, sedangkan strategi belajar mengajar yang ditandai oleh proses berpikir yang bergerak dari khusus ke umum dinamakan induktif. Pesan-pesan dalam pembelajaran yang berupa materi yang disajikan guru juga bisa bersifat deduktif ataupun induktif.


5. Tujuan Belajar
Robert M. Gagne mengelompokkan kondisi-kondisi belajar sesuai dengan tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai. Gagne mengemukakan delapan macam, yang kemudian disederhanakan menjadi lima macam kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar, sehingga pada gilirannya membutuhkan sekian macam kondisi belajar untuk pencapaiannya. Kelima macam kemampuan hasil belajar tersebut adalah:
a.      Keterampilan intelektual.
b.      Strategi kognitif, mengatur cara belajar dan berpikir seseorang di dalam arti seluas-luasnya, termasuk kemampuan memecahkan masalah.
c.       Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta. Kemampuan ini umumnya dikenal dan tidak jarang.
d.      Keterampilan motorik yang diperoleh di sekolah, antara lain keterampilan menulis, mengetik, menggunakan jangka, dan sebagainya.
e.      Sikap dan nilai, berhubungan dengan arah serta intensitas emosional yang dimiliki seseorang, sebagaimana dapat disimpulkan dari kecenderungannya bertingkah laku terhadap orang, barang, atau kejadian.
Kelima macam hasil belajar di atas mempersyaratakan kondisi-kondisi belajar tertentu sehingga dapat dijabarkan strategi belajar mengajar yang sesuai.

Pengklasifikasian strategi belajar mengajar yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Bruce dan Marsha Weil, yang terdiri dari empat model mengajar, yaitu model interaksi sosial, pengolahan informasi, personal humanistik, dan modifikasi tingkah laku (Pembahasan keempat model tersebut akan diuraikan secara terperinci dalam bab tersendiri).

Pendidikan Humanistik Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Islam

Pendidikan Humanistik  Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Islam
Oleh: Akhmad Huda, M.Pd.
(Guru Bahasa Indonesia MAN Bangil Kabupaten Pasuruan)

Abstrak: Pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya Bagi masyarakat yang berkecimpung dan mendalami dunia pendidikan, pasti mengetahui definisi pendidikan tersebut. Tepat sekali, definisi pendidikan yang telah tertulis diatas merupakan hasil karya dari pemikiran Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.
Kata Kunci: Pendidikan, Humanistik, Pendidikan Islam
Pendidikan adalah salah satu usaha untuk memberikan segala nilai-nilai kebatinan, juga ada pada hidup rakyat yang berkebudayaan, kepada tia-tiap turuna baru, tidak haya berupa pemeliharaa, akan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju keluhuran hidup manusia (ceramah Ki Hajar Dewantara dalam Rapat Besar Umum Tama Siswa, Pusara 1952: 159). Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak (Ki Hajar Dewantara, Pusara Jilid XIII No 3 Edisi Januari 1951: 41). Maksudnya supaya usaha pendidikan itu dapat memajukan kesempurnaan hidup, ykani kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik dapat selaras denngan alam dan masyarakatnya.
Pendidikan ialah sebagai laku-kodrat (instinct) dalam hidup manusa yang beradab serta bersifat kebudayaan (ceramah Ki Hajar Dewantara dalam Rapat Besar Umum Tman Siswa, Pusara 1952: 1959). Kebudayaan adalah perwujudan budi (Ki Hajar Dewantara dalam Pusara, 1952: 170). Manusia dengan sadar akan senantiasa mengembangkan, mengarahkan yang sudah ada maupun menciptakan kebudayaan baru yang bermanfaat dan selaras bagi perkembangan kehidupan seluruh jiwa dan badannya.
Undang-undang  Sistem  Pendidikan  Nasional  bab  I,  pasal  I  ayat  (1) menyatakan  bahwa  pendidikan  merupakan  usaha  sadar  dan  terencana  untuk mengembangkan  potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian  diri,  kepribadian,  kecerdasan,  akhlak  mulia,  serta  ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pandangan  klasik  tentang  pendidikan  pada  umumnya  dikatakan sebagai  pranata  yang  dapat  dijalankan  pada  tiga  fungsi  sekaligus;  Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat  di  masa  depan.  Kedua,  mentransfer  atau  memindahkan pengetahuan,  sesuai  dengan  peranan  yang  diharapkan,  dan  Ketiga, mentransfer  nilai-nilai  dalam  rangka  memelihara  keutuhan  dan  kesatuan masyarakat  sebagai  prasyarat  bagi  kelangsungan  hidup  (survive)  masyarakat dan peradaban
Pendidikan  tidak  sekedar  mentransfer  ilmu  pengetahuan  (transfer  of knowledge)  kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut  peserta  didik  untuk  selalu  mengembangkan  potensi  dan  daya kreatifitas  yang  dimilikinya  agar  tetap  survive  dalam  hidupnya.  Karena  itu, daya  kritis  dan  partisipatif  harus  selalu  muncul  dalam  jiwa  peserta  didik. Anehnya,  pendidikan  yang  telah  lama  berjalan  tidak  menunjukkan  hal  yang diinginkan.  Justru  pendidikan  hanya  dijadikan  alat  indoktrinasi  berbagai kepentingan.  Hal  inilah  yang  sebenarnya  merupakan  akar  dehumanisasi (Arif,  www.Pendidikan Network.co.id  diakses  pada  tanggal  9 April 2015).
Realitas  pendidikan  dewasa  ini  masih  hanya  sebatas  transfer  of knowledge,  belum  sampai  transfer  of  value.  Menurut  Azyumardi  Azra (2000:  ix)  yang  menciptakan  konsep  pendidikan  kritis,  bahwa  pendidikan adalah  suatu  proses  dimana  suatu  bangsa  mempersiapkan  generasi  mudanya untuk  menjalankan  kehidupan  dan  untuk  memenuhi  tujuan  hidup  secara efektif  dan  efisien  (latihan  fisik,  mental  dan  moral).  Dengan  demikian, individu-individu diharapkan dengan pendidikan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih  sebagai  khalifah-Nya  di  bumi  sebagaimana  dalam  ajaran  Islam,  dan menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.
Di dalam suasana alam merdeka, potensi serta kepribadian peserta didik dapat tumbuh dan berkembang dengan bebas namun tetap selaras dengan keadaan-keadaan kekuatan alam lain yang hidup disekelilingnya baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika sikap pendidik terlalu keras dan memaksa, maka jiwa anak bisa tertekan sehingga pertumbuhan potensinya akan mengalami hambatan. Pendidikan juga harus ditujukan kepada kecakapan panca indra, tajamnya pikiran, jernihnya perasaan, tetap dan kuatnya kemauan serta budi pekerti yang matang. Itulah tiang-tiang kemerdekaan hidup.
            Kemerdekaan adalah suasana atau alam di mana segala kehidupan ada di dalam keadaan yang selaras, sehingga manusia tidak merasa adanya pembatasan-pembatasan dan paksaan lahir dan batin yang berupa rasa angkuh, serakah, kebencian, rendah diri, takut, dan lain-lain. Suasana seperti ini bagi Ki Hajar Dewantara adalah syarat mutlak guna tumbuh dan berkembangnya kepribadian yang sekuat-kuatnya.
Ajaran-ajaran Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
Sebagai warga negara Indonesia, baik secara umum maupun khusus berasal dari dunia pendidikan tentu saja mengenal dan mengetahui sosok Ki Hajar Dewantara. Terlahir sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 merupakan tokoh pendidikan nasional yang memegang peran penting terhadap tumbuh kembangnya pendidikan di Indonesia. Ide-ide, teori, konsep serta filosofi tentang pendidikan yang dicetuskannya benar-benar mencerminkan arti dan tujuan pendidikan sebenarnya. Kiprahnya dimulai sebagai seorang jurnalis di beberapa surat kabar. Bersama EFE Douwes Dekker beliau mengelola De Express. Selain itu, Ki Hajar bergabung sebagai pengurus aktif Boedi Oetomo dan Sarikat Islam serta mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut kemerdekaan Indonesia. Saat kemerdekaan, Ki Hajar di angkat menjadi Menteri Pengajaran (‘Pendidikan’ saat ini) Indonesia yang pertama.
 Ki Hajar Dewantara tidak pernah menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus dihindari. Menurutnya, sekolah adalah taman bermain di mana seorang anak mendapatkan ilmu baru, pengetahuan baru dengan mengembangkan daya, cipta, rasa dan karsanya secara menyenangkan dan dalam lingkunyan yang tidak terpatri statis namun selalu berkembang sesuai dengan perkembangan sang anak. Beliau berpandangan melalui pendidikan akan terbentuklah kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Bersama dengan perguruan Taman Siswa yang didirikannya pada tahun 1922, putra dari Pangeran Suryaningrat dan cucu dari K.G.P.A.A. Paku Alam III ini berupaya meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan yang hakiki. Semua itu didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan.
Tamansiswa mengajarkan “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa  pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang  setinggi-  tingginya.
Pendidikan  yang  menjadi  cita-cita  Ki  Hajar Dewantara  adalah  membentuk  anak  didik  menjadi  manusia  yang  merdeka lahir  dan  batin.  Luhur  akal  budinya  serta  sehat  jasmaninya  untuk  menjadi anggota  masyarakat  yang  berguna  bertanggungjawab  atas  kesejahteraan bangsa,  tanah  air  serta  manusia  pada  umumnya.  Dalam  rangka  mencapai tujuan tersebut maka Ki  Hajar Dewantara  menawarkan beberapa konsep dan teori  pendidikan  di  antaranya  “Panca  Darma”,  yaitu  dasar-dasar  pendidikan yang  meliputi  :  “Dasar  kemerdekaan,  kodrat  alam,  kebudayaan,  kebangsaan dan dasar kemanusiaan” Menurut Ki Hajar  Dewantara pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk  memajukan  bertumbuhnya  budi  pekerti  (kekuatan  batin,  karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Dalam pengertian taman siswa tidak boleh dipisahkan  bagian-bagian  itu,  agar  kita  dapat  memajukan  kesempurnaan hidup,  yakni  kehidupan  dan  penghidupan  anak-anak  yang  kita  didik  selaras dengan dunianya.
Ki  Hajar  Dewantara  mengusung  pendidikan  nasional  dengan  konsep penguatan  penanaman  nilai-nilai  luhur  yang  dimiliki  oleh  bangsa  sendiri secara  masif  dalam  kehidupan  anak  didik.  Sebagaimana  yang  diungkapkan oleh  Ki  Hajar  Dewantara  yang  dikutip  Mohammad  Yamin  dalam  sebuah penggambaran  proses  humanisasi,  “berilah  kemerdekaan  kepada  anak-anak didik  kita:  bukan  kemerdekaan  yang  leluasa,  tetapi  yang  terbatas  oleh tuntutan-tuntutan  kodrat  alam  yang  nyata  dan  menuju  ke  arah  kebudayaan, yaitu  keluhuran  dan  kehalusan  hidup  manusia.  Agar  kebudayaan  itu  dapat menyelamatkan  dan  membahagiakan  hidup  dan  penghidupan  diri  dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar  ini  melanggar  atau  bertentangan  dengan  dasar  yang  lebih  luas  yaitu dasar kemanusiaan
Pendidikan yang teratur bagi Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang bersandar atas ilmu pendidikan yang tidak berdiri sendiri, melainkan selalu memerlukan sumbangan dari ilmu-ilmu lain. Beberapa contoh ilmu yang menjadi syarat penting sebagai muatan dalam ilmu pendidikan dalam hal ini adalah:
1.      Ilmu Agama (rohani). Di dunia iini derajat manusia diangap yang paling luhur. Tiap-tiap agama mengajarkan bahwa manusa adalah makhluk yang mulia, dikaruniai Tuhan dengan sifat utama yang tidak sama dengan makhluk ciptaan lainnya yakni adanya cipta, rasa,ntuk  dan karsa. Oleh karena itu, pendidikan harus mengandung nilai-nilai religius untuk menumbuhkan iman serta selalu mengingatkan anak akan adanya Tuhan sebagai penguasa jagad raya. Pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai religious pastinlah juga akan selalu menggunakan cara-cara dan usaha mendidik (pengajaran) yag baik dan benar.
2.      Ilmu jiwa manusia (psikologi), salah satu masalah pendidikan yang penting ialah bagaimana dan seperti apa masuknya pengaruh-pengaruh yang akan membentuk dasar jiwa anak, yakni segala pengaruh yang masuk ke dalam hiddup anak-anak sedari kecil. Pengaruh-pengaruh yang baik dan tepat dalam aktivitas pendidikan dan membentuk dasar jiwa anak yang baik pula, begitupun sebaliknya.
3.      Ilmu hidup jasmani, Ilmu jasmani digunakan sebagi acuan dalam memberikan pendidikan tubuh kepada anak-anak. Pedidikan tubuh akan mempergunakan segala gerak badan yang pantas untuk memajukan kesehatan, menghaluskan tingkah laku, mengolah tenaga dan kemampuan anak agar menjadi pribadi yang kuat, terampil, cekatan, teliti dan tertib. Gerak badan yang pantas berarti jangan sampai merusak rasa kesucian dan menyalahi kodrat, terutama gerak badan bagi perempuan (Ki Hajar Dewantata dalam Pusara Jilid XIII No. 5 Edisi April 1951: 44). Berhubungan dengan maksud pendidikan tubuh secara nasional, maka hendaknya hasil kebudayaan yang mengandung wirasa, wirama, dan wiraga dapat terus diajarkan misalnya seni tari, seni drama atau sandiwara, wayang, lagu dan permainan (dolanan) tradisional.
4.      Ilmu Moral-Kesopanan (etika) dan Keindahan (estetika). Berpadunya nilai etika dan estetika dengan imu pendidikan dalam pemikiran seorang Ki Hajar Dewantara telah menghasilkan konsep pendidikan budi pekerti pada eranya. Pendidikan budi pekerti harus menggunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan yakni menuju pada tata karma, kesusilaan, ketertiban, dan kedamaian lahir maupun batin.
Dilihat dari kenyataannya sekarang, setelah bangsa ini mengalami dekadensi nilai-nilai budaya (pemimpin minus keteladanan, korupsi, kriminal, asusila, dll) barulah dunia pendidikan Indonesia menggagas pendidikan karakter, pendidikan berbasis nilai-nilai budaya yang luhur. Sebenarnya, sebuah gagasan yang tidak perlu lagi digagas karena sejatinya pendidikan karakter, harus sudah inhern dari setiap gagasan manusia sejak berabad-abad yang lalu, jauh sebelum Ki Hajar lahir.
Dari keseluruhan konsep, ajaran, sistem pendidikan yang di cetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, benar-benar tidak hanya menjunjung tinggi pendidikan itu sendiri namun bagaimana pendidikan tersebut dapat meninggikan harkat dan martabat suatu bangsa. Keseluruhan konsep serta dasar-dasar ajarannya selalu dikaitkan dengan kebudayaan dan jati diri bangsa Indonesia. Memanglah benar, jika keberhasilan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari pendidikan yang tinggi dari masyarakatnya namun juga dilihat dari bagaimana sebuah masyarakat menjunjung tinggi serta mempertahankan kebudayaan dan jati diri bangsanya. Sungguh ironis, jika kini seseorang lebih bangga terhadap pendidikan bangsa lain bahkan mengelu-elukan sistem pendidikan mereka, padahal bangsa sendiri memiliki konsep pendidikan yang jauh lebih baik dan sesuai dengan kondisi dan situasi bangsanya.

Pendidikan  Humanistik  Ki  Hajar  Dewantara  dalam  Pandangan  Islam
            Humanisme dalam  Islam  tidak mengenal sekulerisme karena tidak ada sekulerisme dalam Islam. Dengan demikian pembahasan humanisme dalam Islam  dengan sendirinya adalah humanisme religius. Humanisme dalam  Islam tidak bisa lepas dari konsep  hablum minannas. Manusia sebagai agen Tuhan di  bumi  atau  khalifatullah  memiliki  seperangkat  tanggung  jawab  (Masud, 2002:  139).  Konsep  tersebut   bisa  merujuk  pada  sumber  dasar  Islam  AlQuran Surat Al Baqarah ayat 30: Yang Artinya:  “Ingatlah  ketika  Tuhanmu  berfirman  kepada  Para  Malaikat: "Sesungguhnya  aku  hendak  menjadikan  seorang  khalifah  di  muka bumi."  mereka  berkata:  "Mengapa  Engkau  hendak  menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji  Engkau  dan  mensucikan  Engkau?"  Tuhan  berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Teori  humanistik  adalah  suatu  teori  yang  bertujuan  memanusiakan manusia.  Artinya  perilaku  tiap  orang  ditentukan  oleh  orang  itu  sendiri  dan memahami  manusia  terhadap  lingkungan  dan  dirinya  sendiri.  Seperti  halnya dalam  Paradigma  pendidikan  humanistik  memandang  manusia  sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu (Makin, 2009: 22). Karena  pendidikan humanistik meletakkan manusia sebagai titik tolak sekaligus  titik  tuju  dengan  berbagai  pandangan  kemanusiaan  yang  telah dirumuskan  secara  filosofis,  maka  pada  paradigma  pendidikan  demikian terdapat harapan besar bahwa nilai-nilai pragmatis iptek (yang perubahannya begitu dahsyat) tidak akan mematikan kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Dengan paradigma pendidikan humanistik, dunia manusia akan terhindar dari tirani teknologi dan akan tercipta  suasana  hidup dan kehidupan yang kondusif bagi komunitas manusia
Dari  beberapa  literatur  pendidikan,  ditemukan  beberapa  model pembelajaran yang humanistik ini yakni:  humanizing of the classroom,  active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning. Psikologi humanistik memberi perhatian  atas  guru sebagai fasilitator. Guru-guru yang efektif adalah guru-guru yang „manusiawi.  aliran humanistik membantu  siswa  untuk  mengembangkan  dirinya  sesuai  dengan  potensi-potensi  yang  dimiliki.  Karena  ia  sebagai  pelaku  utama  yang  akan melaksanakan kegiatan dan ia juga belajar dari pengalaman yang dialaminya sendiri.  Dengan  memberikan  bimbingan  yang  tidak  mengekang  pada  siswa dalam kegiatan pembelajarannya, akan lebih mudah dalam menanamkan nilainilai atau norma yang dapat memberinya  informasi padanya tentang perilaku yang positif dan perilaku negatif yang seharusnya tidak dilakukannya.
Manusia  manurut  pandangan  Ki  Hajar  Dewantara  telah  dijelaskan dalam tulisannya yang berjudul Keindahan Manusia yaitu sebagai berikut:
“Manusia adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang  telah  melalui  batas  kecerdasan  yang  tertentu,  hingga menunjukkan perbedaan yang tegas dengan jiwa yang dimiliki hewan. Jika  hewan  hanya  berisikan  nafsu-nafsu  kodrati,  dorongan  dan keinginan,  insting  dan  kekuatan  lain  yang  semuanya  itu  tidak  cukup berkuasa  untuk  menentang  kekuatan-kekuatan,  baik  yang  datang  dari luar atau dari dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan  tindakan-tindakan  yang  perlu  untuk  memelihara kebutuhan-kebutuhan  hidupnya  yang  masih  sanggat  sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya.”
Pandangan  Ki  Hajar Dewantara tentang  manusia  sebagai  makhluk  yang  berbudi sesuai  dengan  pandangan  aliran  humanistik  yang  bertujuan  membentuk manusia  menjadi  humaniter  sejati  yang  dapat  bertanggungjawab  sebagai individu  dan  kepada  masyarakat  sekitarnya.  Manusia  adalah  subjek/pribadi yang  memiliki  cipta,  rasa,  karsa  yang  mengerti  dan  menyadari  akan keberadaan dirinya yang dapat mengatur, menentukan, dan menguasai dirinya, memiliki  budi  dan  kehendak,  memiliki  dorongan  untuk  mengembangkan pribadinya menjadi lebih baik dan lebih sempurna.
Guru  diwajibkan  harus  berperilaku  sebagai  pemimpin.  Penjabaran makna  pemimpin  adalah  di  depan  dapat  memberi  contoh  keteladanan,  di tengah  dapat  membangkitkan  motivasi  dan  di  belakang  mampu  memberikan pengawasan serta dorongan untuk terus  maju. Prinsip pengajaran ini dikenal dengan semboyan Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Seorang guru harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah siswa  harus  membangun  karsa  (kehendak),  dan  dengan  prinsip  tut  wuri handayani,  akan  membiarkan  anak tumbuh  sesuai  dengan  usia pertumbuhannya, namun tetap didampingi.
Jika seorang guru berperilaku humanis maka akan tercipta pendidikan yang  efektif. Pendidikan  yang  efektif adalah  yang berpusat pada siswa  yang sesuai  dengan  minat  dan  kebutuhan  siswa.  Guru  membantu  siswa  untuk menemukan,  mengembangkan  dan  mencoba  mempraktikkan  kemampuankemampuan yang mereka miliki  (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan  yang  berpusat  pada  siswa  adalah  bahwa  guru  menghormati  dan menerima siswa sebagaimana adanya. Hal inilah yang dinamakan pendidikan humanistik yang juga sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Dalam  berbagai  penjelasannya  Ki  Hajar  memandang  siswa  atau peserta  didik  adalah  manusia  yang  mempunyai  kodratnya  sendiri  dan  juga kebebasan  dalam  menentukan  hidupnya.  Pandangan  Ki  Hajar  tentang  siswa yang  tidak  mengekang  kebebasan  siswa  ini  sesuai  dengan  pandangan humanistik  terhadap  siswa.  Aliran  humanistik  ini  membantu  siswa  dalam mengembangkan potensinya dan membiarkan siswa belajar dari pengalaman yang dialaminya sendiri.
Bapak  Pendidikan  Nasional  Ki  Hajar  Dewantara  merangkum  konsep yang  dikenal  dengan  istilah  Among  Methode  atau  sistem  among.  Among mempunyai  pengertian  menjaga,  membina  dan  mendidik  anak  dengan  kasih sayang.  Pelaksana  “among”  (momong)  disebut  Pamong,  yang  mempunyai kepandaian  dan  pengalaman  lebih  dari  yang  diamong.  Guru  atau  dosen  di Taman  Siswa  disebut  pamong  yang  bertugas  mendidik  dan  mengajar  anak sepanjang  waktu.  Tujuan  sistem  among  membangun  anak  didik  menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan  berketerampilan,  serta  sehat  jasmani  rohani  agar  menjadi  anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya
Perlu ditekankan bahwa ruang kelas dapat menjadi humanis atau tidak humanis  bukanlah  berdasarkan  label  yang  diberikan  oleh  pemerintah  atau siapa  saja,  melainkan  dapat  dilihat  dari  proses  yang  terjadi  di  kelas  sebagai hasil dari interaksi antara guru siswa dan antar siswa. Guru menjadi humanis atau  tidak  humanis  juga  bukan  berdasarkan  label  yang  diberikan  oleh  pihak luar,  melainkan  dilihat  dari:  1)   usaha  yang  dilakukan  guru  untuk mengarahkan  dirinya  memenuhi  karakteristik  guru  yang  humanis,  2) kemampuan  guru   mengembangkan  kelas  yang  humanis  melalui  hubungan yang  apresiatif,  tindakan  guru  yang  humanis  dan  proses  pembelajaran  yang menerapkan model pembelajaran yang tepat.
Dalam Islam metode dalam pendidikan yang digunakan yang sama dengan  konsep  Tut  Wuri  Handayani  antara  lain: metode teladan, metode kisah, metode nasehat, metode targhib dan tarhid.
Dari  penjelasan  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  pendidikan humanistik  dalam  pandangan  Ki  Hajar  Dewantara  sesuai  dengan pandangan  Islam.  Terutama  dalam  budi  pekerti  yang  dalam  Islam  biasa disebut dengan  akhlak.  Karena humanisme dalam  Islam didasarkan pada hubungan  sesama  umat  manusia  yang  membutuhkan  pendidikan  akhlak atau  budi  pekerti  sehingga  seseorang  menjadi  manusia  yang  dapat menghormati dan menghargai manusia lainnya.

Mengembangkan Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural

Mengembangkan Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural
Oleh: Akhmad Huda, M.Pd..
(Guru MAN Bangil Kab. Pasuruan)

Abstrak: Keberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak akan secara langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut yang memberikan wewenang pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah mungkin saja akan menghasilkan berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan persepsi para pengembang kurikulum di daerah, tetapi bukan tidak mungkin bahwa kurikulum yang dikembangkan tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya apalagi pendekatan multikultural. Kurikulum yang dihasilkan mungkin saja dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya tetapi tidak berarti langsung menjadi kurikulum yang berdasarkan pendekatan multikultural. Kurikulum yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan multikultural. Atas dasar posisi multikultutral sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum maka pendekatan multikultural untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.

Kata Kunci: Pendidikan, Pendidikan Islam, Wawasan Multikultural

Dalam setiap sisi kehidupan, manusia selalu berada pada dua sisi, yaitu sebagai individu dengan segala karateristiknya dan sebagai bagian dari kelompok manusia yang lain. Dua sisi tersebut menempatkan manusia pada dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi sosial akan tampak eksistensinya bila didukung oleh keberadan personal, sebaliknya dimensi personal akan semakin bermakna jika berada pada konteks soisal. Dimensi personal membawa impilkas ke-bhineka-an yang dibawa masing-masing individu. Sementara itu, dimensi sosial mengandaikan adanya ke-eka-an sebagai wujud menyatunya ke-bhineka-an. Hal itulah yang menjadi inti dari adanya pluralisme budaya.
Realitas historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berdiri tegak di antara keragaman budaya yang ada. Salah satu contoh nyata adalah dengan dipilihnya bahasa Melayu  sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua komponen bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan bahasa  Melayu sebagai bahasa persatuan yang dapat mengatasi sekaligus menjembatani jalinan antarkomponen bangsa. Pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimanakah realitas yang terjadi di Indonesia saat ini. Apakah pandangan multikulturalisme dan asas pluralisme tetap utuh sebagaimana yang diidam-idamkan oleh para pendiri bangsa ini. Tanpa harus berpikir panjang, jawaban akan segera ditemukan. Realitas bangsa Indonesia saat ini telah jauh dari kondisi ideal yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. 
Makna pluralisme yang mengedepankan pemahaman keragaman budaya (multikulturalisme) telah bergeser. Pluralisme kemudian berkembang ke arah dominasi suatu kelompok tertentu sehingga kelompok-kelompok lain menjadi terdesak. Dalam bahasa Ariel Heryanto semboyan ke-bhineka-an telah berubah arah menjadi ke-eka-an. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa keragaman budaya justru menjadi sumber pertentangan antarkomponen bangsa. Krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia belum berakhir sampai saat ini. Berbagai kerusuhan dan konflik sosial, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal sudah mengarah pada disintegrasi bangsa. Sungguh ironis ketika padakenyataannya bahwa apresiasi dan interaksi tentang  keberagaman kebudayaan itu belum sepenuhnya menjadi keniscayaan. Sebagian besar anggota masyarakat saat ini belum memahami arti penting pluralisme budaya. Masyarakat belum meyakini bahwa kehidupan dapat dibangun dalam naungan keragaman budaya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang moderenisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas social ekonomi pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam  relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif  peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras,etnik, jender, kelas, dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup.
Konsep ini setidaknya bertumpuh pada dua keyakinan. Pertama,secara sosial semua kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan resisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain, Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala pendidikan.

Pendidikan Islam
Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Menurut H. Horne,  pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Sedangkan Frederick J. Mc Donald berpendapat bahwa pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang.
Pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori. Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
Pendidikan Islam sebagai lembaga baik MI, MTs, MA atau MAK atau Perguruan Tinggi diatur dalam pasal 17 dan Pendidikan keagamaannya diatur dalam pasal 30. Pendidkan Islam sebagai mata pelajaran dapat dilihat dalam pasal 36 ayat Adapun pendidikan Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk , demokratis, egalitarian, dan humanis.
Berangkat dari kondisi tersebut akan jelas sekali bahwa eksistensi Pendidikan Agama Islam di madrasah sangat jelas dan dapat dirasakan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan dan  memberdayakan dan sekaligus pengembangan Pendidikan Islam secara terus menerus. Diantara kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Agama dalam pembinaan Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (Mapenda) dapat dilihat sebagai berikut : (1) pemerataan pendidikan, diarahkan untuk menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun (Wajar 9 tahun),  (2) peningkatan mutu pendidikan diseluruh jenjang pendidikan, baik ditingkat MI maupun MTs dan sertapeningkatan kualitas pendidikan agama islam disekolah umum, dan (3) efektifitas dan efisiensi artinya penyelenggaraan pendidikan benar-benar dapat mencapai tujuan pendidikan yang maksimal dengan memanfaatkan biaya yang minimal.
Adapun dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaannya adalah dengan terus melakukan pembinaan dan pelatihan kepada pendidik. Dalam kacamata Departemen Agama setidaknya ada empat kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh seorang tenaga pendidik. Pertama , kompetensi keilmuan, Kedua, kompetensi keterampilan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik. Ketiga, kompetensi manjerial dan keempat adalah kompetensi moral akademik dimana ia mesti menjadi contoh panutan bagi anak didik dan masyarakat.

Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal  menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
            Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah : (1) Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat, (2) Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat (3). Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat. Dari uraian tersebut, maka simpulkan bahwa tujuan pendidikan islam pada intinya adalah : terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Pendidikan Multikultural
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Hal ini sejalan dengan
pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti; (1) toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama; (2) bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi; (3) HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju ini dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.  
            Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini: (1) pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang, (2) pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah, (3) kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda, dan (3) pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
            Bagi  pendidikan  agama Islam gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang di takuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama , bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Sebagaimana dipahami bahwa multikulturalisme adalah makna yang menunjuk pada kenyataan bahwa kita tidak hidup dalam sebuah budaya saja. Budaya dalam arti semua usaha manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan semua usaha manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan semua hal bernilai baik dari kehidupannya.
Bagi pendidikan agama Islam gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang di takuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama , bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Untuk merancang strategi hubungan multicultural dan etnik dalam  sekolah dapat digolongkan kepada dua yakni pengalaman pribadi dan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam pengalaman pribadi dengan menciptakan pertama, siswa etnik minoritas dan mayoritas mempunyai status yang sama, kedua, mempunyai tugas yang sama, ketiga, bergaul, berhubungan, berkelanjutan dan berkembang bersama, keempat, berhubungan dengan pasilitas, gaya belajar guru, dan norma kelas tersebut.
Adapun dalam bentuk pengajaran adalah sebagai berikut : pertama guru harus sadar akan keragaman etnik siswa, tidak bisa dalam mendidik, kedua, bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya refleksi keragaman etnik dan ketiga adalah bahan kurikulum dituliskan dalam bahasa daerah / etnik yang berbeda.
Jelasnya bila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidak pastian jati diri para kelompok yang ada.
Ketika multikultur tidak hanya diartikan sebagai beraneka ragam budaya, tetapi juga diartikan sebagai beraneka ragam agama, pola fikir, juga beraneka ragam pandangan mazhab agama maka sebagai guru pendidikan agama Islam  harus bisa menyampaikan pesan ilahiyah kepada para peserta didik dengan bijak tanpa harus ada satu kelompok mazhabpun yang tersinggung. Tapi harus diingat juga bahwa : mengajarkan agama dengan memahami multikultur tidak berarti menggiring pada pemahaman bahwa semua agama benar,  semua agama sama, dan semua pemeluk agama yang mentaati ajaran agamanya dengan baik  sama-sama akan memasuki surga.
Sebagai bahan pertimbangan  tatkala menyusun kurikulum pendidikan Agama berwawasan multikultural, nampaknya konsep yang ditawarkan Prof. Tafsir bisa dijadikan  sebagai sebagai salah satu rujukan. Berikut konsep yang ditawarkan Prof. Tafsir tersebut : (1) ajarkan kepada murid-murid bahwa manusia itu beragam, setiap manusia harus terampil hidup bersama dalam kultur yang beragam itu, (2) perlu diajarkan agar murid mampu hidup bersama dalam perbedaan, gunakan antara lain surat Ali Imran : 64, Al Hujurat : 13, dan Yusuf:67. (3) perlu dididik agar murid memiliki sikap mempercayai orang lain, tidak mencurigai, dan tidak berprasangka buruk. Gunakan antara lain Al Hujurat : 15, (4) perlu dididik agar murid itu memiliki sikap menghargai orang lain. Memahami bukan selalu  berarti menyetujui; dipihak lain memahami selalu berarti menghargai. Bisa menggunakan al hujurat : 13, dan (5) didiklah murid agar senang memaafkan orang lain baik diminta ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar diberi ampunan oleh Allah. Gunakan antara lain Al Araf : 199, Al An’am : 54, Ali Imran : 134.
Penutup
Sebagai idiologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-prinsip keragaman, kesetaraan, dan  penghargaan atas yang lain, sehingga pesan universal pendidikan dapat dirasakan semua pihak. Disinilah letak urgensi pengajaran multikultural dan multi etnik di dalam pendidikan yakni dengan mendidik siswa agar tidak melakukan tindakan kejahatan terhadap siswa dari suku lain, khususnya di dalam lingkungan pendidikan agama. Demikian pula pengajaran multi etnik itu lebih hetrogen lagi pada sekolah umum.

Gagasan dan Rancangan memasukan wawasan multikultural disekolah agama dan madrasah patut disahuti, sepanjang tidak terjadi pengaburan kesejatian idiologi dari pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam memiliki keunikan dan khasnya sendiri sesuai dengan visi dan misinya. Adapun visi dari madrasah dan pendidikan agama Islam adalah terwujudnya manusia yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkepribadian, berilmu, terampil dan mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya adalah menciptakan lembaga yang islami dan berkwalitas, menjabarkan kurikulum yang mampu memahami kebutuhan anak didik dan masyarakat, menyediakan tenaga kependidikan yang profesional dan memiliki kompotensi dalam bidangnya dan menyelenggarakan proses pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang berprestasi