Mengembangkan Pendidikan Islam Berwawasan
Multikultural
Oleh: Akhmad Huda, M.Pd..
(Guru MAN Bangil Kab.
Pasuruan)
Abstrak: Keberlakuan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak akan secara
langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam pengembangan
kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut yang memberikan wewenang
pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah mungkin saja akan menghasilkan
berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan persepsi para pengembang
kurikulum di daerah, tetapi bukan tidak mungkin bahwa kurikulum yang
dikembangkan tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya apalagi
pendekatan multikultural. Kurikulum yang dihasilkan mungkin saja dikembangkan
berdasarkan pendekatan budaya tetapi tidak berarti langsung menjadi kurikulum
yang berdasarkan pendekatan multikultural. Kurikulum yang menggunakan
pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman
yang mendalam tentang pendekatan multikultural. Atas dasar posisi multikultutral
sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum maka pendekatan multikultural
untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman
kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen
kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan
pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep,
keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.
Kata
Kunci: Pendidikan, Pendidikan Islam, Wawasan Multikultural
Dalam setiap sisi kehidupan, manusia
selalu berada pada dua sisi, yaitu sebagai individu dengan segala
karateristiknya dan sebagai bagian dari kelompok manusia yang lain. Dua sisi
tersebut menempatkan manusia pada dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi
sosial akan tampak eksistensinya bila didukung oleh keberadan personal,
sebaliknya dimensi personal akan semakin bermakna jika berada pada konteks
soisal. Dimensi personal membawa impilkas ke-bhineka-an yang dibawa
masing-masing individu. Sementara itu, dimensi sosial mengandaikan adanya
ke-eka-an sebagai wujud menyatunya ke-bhineka-an. Hal itulah yang menjadi inti
dari adanya pluralisme budaya.
Realitas historis menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia berdiri tegak di antara keragaman budaya yang ada. Salah satu
contoh nyata adalah dengan dipilihnya bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian
berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua
komponen bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan
yang dapat mengatasi sekaligus menjembatani jalinan antarkomponen bangsa.
Pertanyaan yang segera muncul adalah bagaimanakah realitas yang terjadi di
Indonesia saat ini. Apakah pandangan multikulturalisme dan asas pluralisme
tetap utuh sebagaimana yang diidam-idamkan oleh para pendiri bangsa ini. Tanpa
harus berpikir panjang, jawaban akan segera ditemukan. Realitas bangsa
Indonesia saat ini telah jauh dari kondisi ideal yang dicita-citakan oleh para
pendiri bangsa.
Makna pluralisme yang mengedepankan
pemahaman keragaman budaya (multikulturalisme) telah bergeser. Pluralisme
kemudian berkembang ke arah dominasi suatu kelompok tertentu sehingga
kelompok-kelompok lain menjadi terdesak. Dalam bahasa Ariel Heryanto semboyan
ke-bhineka-an telah berubah arah menjadi ke-eka-an. Perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa keragaman budaya justru menjadi sumber pertentangan
antarkomponen bangsa. Krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia
belum berakhir sampai saat ini. Berbagai kerusuhan dan konflik sosial, baik
yang bersifat horizontal maupun vertikal sudah mengarah pada disintegrasi
bangsa. Sungguh ironis ketika padakenyataannya bahwa apresiasi dan interaksi
tentang keberagaman kebudayaan itu belum
sepenuhnya menjadi keniscayaan. Sebagian besar anggota masyarakat saat ini
belum memahami arti penting pluralisme budaya. Masyarakat belum meyakini bahwa
kehidupan dapat dibangun dalam naungan keragaman budaya.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa gelombang moderenisasi dan globalisasi budaya telah
meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas social
ekonomi pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit
menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena
multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme
melingkupi pluralitas ras,etnik, jender, kelas, dan agama bahkan sampai pilihan
gaya hidup.
Konsep
ini setidaknya bertumpuh pada dua keyakinan. Pertama,secara sosial semua
kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan
orang lain. Kedua, diskriminasi dan resisme dapat direduksi melalui
penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain,
Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala
pendidikan.
Pendidikan Islam
Menurut Juhn Dewey,
pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin
akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang
muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk
menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan
perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Menurut H. Horne, pendidikan
adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi
bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas
dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual,
emosional dan kemanusiaan dari manusia. Sedangkan Frederick J. Mc Donald berpendapat bahwa pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang
diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan
behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang
dilakukan oleh sesorang.
Pendidikan
Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah
teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah
teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu
ilmu bukanlah hanya teori. Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas
cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti
upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok
orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup,
baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial
sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua
orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup,
sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang
kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist).
Pendidikan
Islam sebagai lembaga baik MI, MTs, MA atau MAK atau Perguruan Tinggi diatur
dalam pasal 17 dan Pendidikan keagamaannya diatur dalam pasal 30. Pendidkan
Islam sebagai mata pelajaran dapat dilihat dalam pasal 36 ayat Adapun pendidikan
Islam sebagai nilai pada hakikatnya adalah nilai yang membawa nilai
kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk , demokratis, egalitarian,
dan humanis.
Berangkat
dari kondisi tersebut akan jelas sekali bahwa eksistensi Pendidikan Agama Islam
di madrasah sangat jelas dan dapat dirasakan. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan dan memberdayakan dan
sekaligus pengembangan Pendidikan Islam secara terus menerus. Diantara
kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Agama dalam pembinaan Bidang Madrasah
dan Pendidikan Agama Islam (Mapenda) dapat dilihat sebagai berikut : (1) pemerataan
pendidikan, diarahkan untuk menunjang penuntasan wajib belajar 9 tahun (Wajar 9
tahun), (2) peningkatan mutu pendidikan
diseluruh jenjang pendidikan, baik ditingkat MI maupun MTs dan sertapeningkatan
kualitas pendidikan agama islam disekolah umum, dan (3) efektifitas dan
efisiensi artinya penyelenggaraan pendidikan benar-benar dapat mencapai tujuan
pendidikan yang maksimal dengan memanfaatkan biaya yang minimal.
Adapun
dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaannya adalah dengan terus melakukan
pembinaan dan pelatihan kepada pendidik. Dalam kacamata Departemen Agama
setidaknya ada empat kompetensi pokok yang harus dimiliki oleh seorang tenaga
pendidik. Pertama , kompetensi keilmuan, Kedua, kompetensi
keterampilan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik. Ketiga, kompetensi
manjerial dan keempat adalah kompetensi moral akademik dimana ia mesti
menjadi contoh panutan bagi anak didik dan masyarakat.
Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam
ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang
dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Islam
menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut
Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya
mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan
bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum
pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat.
Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang
dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban
orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang
benar.
Menurut al Syaibani,
tujuan pendidikan Islam adalah : (1) Tujuan yang
berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah
laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang
harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat, (2) Tujuan yang
berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku
individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya
pengalaman masyarakat
(3). Tujuan
profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat. Dari uraian tersebut, maka
simpulkan bahwa tujuan pendidikan islam pada intinya adalah : terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan
seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri
ialah beribadah kepada Allah.
Pendidikan Multikultural
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat
didefenisikan sebagai “pendidikan
untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural
lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Hal ini sejalan
dengan
pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti
(difference), atau politics of recognition politik pengakuan terhadap
orang-orang dari kelompok minoritas. Istilah “pendidikan multikultural” dapat
digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan
isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat
multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan
terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat
multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan
multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti; (1) toleransi, tema-tema
tentang perbedaan etno-kultural dan agama; (2) bahaya diskriminasi,
penyelesaian konflik dan mediasi; (3) HAM, demokratis dan pluralitas,
kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan
multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju
ini dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga,
pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima,
pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
Secara generik,
pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk
menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda
ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari
konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar
memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya,
paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada
prinsip-prinsip berikut ini: (1) pendidikan multikultural harus menawarkan
beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang,
(2) pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada
penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah, (3) kurikulum dicapai sesuai
dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang
berbeda-beda, dan (3) pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip
pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan
multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan
perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan
budaya dan kebudayaan mereka sendiri Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam
melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak
adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan
terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan
terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan
kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh
terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Pendidikan Multikultural dalam
Pendidikan Islam
Bagi pendidikan
agama Islam gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang di takuti dan
baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama , bahwa Islam
mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua,
konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan
saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba
adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Sebagaimana
dipahami bahwa multikulturalisme adalah makna yang menunjuk pada kenyataan
bahwa kita tidak hidup dalam sebuah budaya saja. Budaya dalam arti semua usaha
manusia untuk mengungkapkan dan mewujudkan semua usaha manusia untuk mengungkapkan
dan mewujudkan semua hal bernilai baik dari kehidupannya.
Bagi
pendidikan agama Islam gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang di takuti
dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama , bahwa Islam
mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua,
konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan
saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba
adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Untuk
merancang strategi hubungan multicultural dan etnik dalam sekolah dapat digolongkan kepada dua yakni
pengalaman pribadi dan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam pengalaman
pribadi dengan menciptakan pertama, siswa etnik minoritas dan mayoritas
mempunyai status yang sama, kedua, mempunyai tugas yang sama, ketiga,
bergaul, berhubungan, berkelanjutan dan berkembang bersama, keempat,
berhubungan dengan pasilitas, gaya belajar guru, dan norma kelas tersebut.
Adapun
dalam bentuk pengajaran adalah sebagai berikut : pertama guru harus
sadar akan keragaman etnik siswa, tidak bisa dalam mendidik, kedua,
bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya refleksi keragaman etnik dan ketiga
adalah bahan kurikulum dituliskan dalam bahasa daerah / etnik yang berbeda.
Jelasnya
bila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun
agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi,
demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan,
keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan
sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan
bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidak pastian jati
diri para kelompok yang ada.
Ketika multikultur tidak hanya diartikan sebagai beraneka
ragam budaya, tetapi juga diartikan sebagai beraneka ragam agama, pola fikir,
juga beraneka ragam pandangan mazhab agama maka sebagai guru pendidikan agama Islam harus bisa menyampaikan pesan ilahiyah kepada
para peserta didik dengan bijak tanpa harus ada satu kelompok mazhabpun yang
tersinggung. Tapi harus diingat juga bahwa : mengajarkan
agama dengan memahami multikultur tidak berarti menggiring pada
pemahaman bahwa semua agama benar, semua agama sama, dan semua pemeluk
agama yang mentaati ajaran agamanya dengan baik sama-sama akan memasuki
surga.
Sebagai bahan pertimbangan tatkala menyusun kurikulum pendidikan
Agama berwawasan multikultural, nampaknya konsep yang ditawarkan Prof. Tafsir
bisa dijadikan sebagai sebagai salah satu rujukan. Berikut
konsep yang ditawarkan Prof. Tafsir tersebut : (1) ajarkan kepada murid-murid bahwa manusia
itu beragam, setiap manusia harus terampil hidup bersama dalam kultur yang
beragam itu, (2) perlu diajarkan
agar murid mampu hidup bersama dalam perbedaan, gunakan antara lain surat Ali
Imran : 64, Al Hujurat : 13, dan Yusuf:67. (3) perlu dididik agar murid memiliki sikap
mempercayai orang lain, tidak mencurigai, dan tidak berprasangka buruk. Gunakan
antara lain Al Hujurat : 15,
(4) perlu dididik agar murid itu memiliki sikap menghargai orang lain. Memahami
bukan selalu berarti menyetujui; dipihak lain memahami selalu berarti
menghargai. Bisa menggunakan al hujurat : 13, dan (5) didiklah murid agar senang memaafkan
orang lain baik diminta ataupun tidak serta mendoakan orang itu agar diberi
ampunan oleh Allah. Gunakan antara lain Al Araf : 199, Al An’am : 54, Ali Imran
: 134.
Penutup
Sebagai
idiologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-prinsip keragaman,
kesetaraan, dan penghargaan atas yang
lain, sehingga pesan universal pendidikan dapat dirasakan semua pihak.
Disinilah letak urgensi pengajaran multikultural dan multi etnik di dalam
pendidikan yakni dengan mendidik siswa agar tidak melakukan tindakan kejahatan
terhadap siswa dari suku lain, khususnya di dalam lingkungan pendidikan agama.
Demikian pula pengajaran multi etnik itu lebih hetrogen lagi pada sekolah umum.
Gagasan
dan Rancangan memasukan wawasan multikultural disekolah agama dan madrasah
patut disahuti, sepanjang tidak terjadi pengaburan kesejatian idiologi dari
pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan Islam memiliki keunikan dan khasnya
sendiri sesuai dengan visi dan misinya. Adapun visi dari madrasah dan
pendidikan agama Islam adalah terwujudnya manusia yang bertaqwa, berakhlak
mulia, berkepribadian, berilmu, terampil dan mampu mengaktualisasikan diri
dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya adalah menciptakan lembaga
yang islami dan berkwalitas, menjabarkan kurikulum yang mampu memahami
kebutuhan anak didik dan masyarakat, menyediakan tenaga kependidikan yang
profesional dan memiliki kompotensi dalam bidangnya dan menyelenggarakan proses
pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang berprestasi